Saatnya Menghadapi Invasi Pemikiran
Era Globalisasi memang memberi tantangan tersendiri bagi umat Islam, terlebih sebagai warga Indonesia, yang menduduki posisi teratas dalam kuantitas penduduk muslim terbesar di dunia. Mulai dari masuknya budaya barat yang sarat dengan kebebasan tanpa batas, hingga berkembangnya pemikiran-pemikiran kontemporer, yang hakikatnya merupakan “import pemikiran” ideologi barat. Kebebasan ini tentu memberi pengaruh terhadap cara berfikir sekaligus kehidupan sosial masyarakat. Objek dari globalisasi ini pun tak tanggung-tanggung, ia langsung ditujukkan kepada para pemuda dan cendikiawan muslim, yang nota benenya merupakan generasi berpotensi untuk berada di garda terdepan dalam memperjuangkan syi’ar-syi’ar Islam.
Singkat kata, saat ini kita sedang berada di bawah cengkraman para musuh Islam, melalui tangan para Orientalis dan para pemikir barat lainnya. Mereka telah
merancang skenario besar, untuk menggiring umat kepada paham-paham yang bersifat destruktif terhadap agama. Diantaranya dengan jalan menggantikan metode berfikir umat Islam dengan produk pemikiran yang mereka sebut sebagai sebuah “alternatif” atas pemikiran Islam klasik, yang lebih mengedepankan metode berfikir para ulama terdahulu.
Hermeneutika misalnya, sebuah metode yang digunakan ahli teologi Kristen dan Yahudi dalam mengkritisi teks kitab suci mereka. Saat ini metode tersebut sedang dipasarkan untuk diterapkan dalam mengkritisi kitab suci umat Islam. Padahal jelas adanya, bahwa tujuan utama Hermeneutika sebagaimana yang tertera dalam Encyclopaedia Britannica adalah mencari "nilai kebenaran Bible."
Disamping itu, ada perbedaan mendasar antara konsep teks Al Qur’an dengan teks konsep Bible, dan latar belakang sejarah yang berbeda antara peradaban Islam dengan peradaban Barat. Kedua hal ini menjadi salah satu alasan, mengapa metode interpretasi tidak bisa digunakan dalam memahami Al-Qur’an
Bila ditelusuri lebih jauh, lahirnya metodologi ini bermula dari kegundahan para pemikir Yahudi dan Nasrani dalam memahami teks-teks Bible, apakah ia murni dari perkataan Tuhan (Word of God) ataukah hanya karangan manusia?. Keraguan ini kemudian yang menuntut diterapkannya metode interpretasi terhadap Bible. Tentu bertolak belakang dengan pemahaman terhadap Al Quran, yang kita yakini secara utuh dan tanpa keraguan sedikitpun tentang kebenarannya sebagai Kalamullah.
Disamping Hermeneutika, ada paham lain yang disebarkan, seperti Pluralisme, Liberalisme, Sekularisme, dan paham serupa lainnya. Tujuannya sama, memaksa diterimanya ideologi barat kedalam pemikiran keagamaan Islam, yang berujung dengan pendangkalan aqidah dan menumbuhkan keraguan umat terhadap keotentikan Al Quran dan As-sunnah. Dengan kata lain, sekarang kita dihadapkan dengan derasnya arus “Ghazwul Fikri” atau invasi pemikiran. Perang yang berlangsung memang tidak terjadi dalam kontak fisik, namun dampak yang ditimbulkan lebih buruk ketimbang perang dengan mengangkat senjata. Ia memiliki karakter menyerang pemikiran seseorang (brain washing), yang secara perlahan dapat memutarbalikkan sesuatu yang haq dan tsawabit, menjadi bathil dan mutaghayirat, dengan dalih bersikap kritis dan menjunjung tinggi hak serta kebebasan.
Menurut hemat penulis, ada dua hal awal yang perlu dilakukan dalam menghadapi serangan pemikiran kontemporer. Pertama, menguatkan pondasi keimanan di dalam diri. Target dari ghazwul fikri ini sangat jelas, yaitu menggoyahkan keimanan seorang muslim dan menumbuhkan keraguan terhadap kebenaran agamanya. Tanpa benteng aqidah yang benar, tentu akan memudahkan kita terperosok ke dalam jurang kesesatan. Tak sedikit para sarjana muslim bahkan mereka yang telah bergelar Professor sekalipun, karena berangkat dari keimanan yang rapuh, kini dengan angkuhnya mereka mempertanyakan kebenaran Al-Qur’an sebagai firman Allah. Kedua, sudah saatnya membangun kembali tradisi keilmuan di lingkungan kita. Gencarnya pemikiran kontemporer yang bersifat ilmiah, tentu takkan mudah dihadapi melainkan dengan meresponnya secara ilmiah dan akademis pula. Kita dituntut untuk menyelami samudera ilmu lebih dalam, menguasai khazanah turots dengan matang, dan mengenal lebih jauh asal muasal pemikiran-pemikiran kontemporer yang berkembang saat ini. Dengan didukung pemahaman yang baik terhadap agama dan pemikiran kontemporer, tentu akan memudahkan langkah kita dalam menghadapi kuatnya invasi pemikiran dan lebih selektif dalam menerima sesuatu hal yang baru.
Saat ini, seiring dengan berputarnya waktu, terpaan yang datang menimpa agama inipun semakin kuat. Sudah menjadi kewajiban bagi kita sebagai individu muslim yang memiliki disipilin ilmu, untuk menjaga sendi-sendi agama mulia ini. Karena sejatinya kita jualah yang akan melanjutkan estafet perjuangan dakwah para anbiya' menuju ridho Ilahi, Insya'allah..
Wallahu a’lam bishawab.
Posting Komentar