Penulis : Al-Ustadz Abu Abdirrahman Al-Bugisi
Menyambut Ramadhan, banyak acara digelar kaum muslimin. Diantaraacara tersebut ada yang telah menjadi tradisi yang “wajib” dilakukanmeski syariat tidak pernah memerintahkan untuk membuat berbagai acaratertentu menyambut datangnya bulan mulia tersebut.
Puasa Ramadhan merupakan salah satu dari kewajiban puasa yangditetapkan syariat yang ditujukan dalam rangka taqarrub (mendekatkandiri) kepada Allah.
Hukum puasa sendiri terbagi menjadi dua, yaitu puasa wajib dan puasasunnah. Adapun puasa wajib terbagi menjadi 3: puasa Ramadhan, puasakaffarah (puasa tebusan), dan puasa nadzar.
Keutamaan Bulan Ramadhan
Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al Qur’an. Allah Ta’ala berfirman:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
“Bulan Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan)Al Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasanmengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang batil).”(Al-Baqarah: 185)
Pada bulan ini para setan dibelenggu, pintu neraka ditutup dan pintu surga dibuka.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda:
إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِقَتْ أَبْوَابُ النِّيْرَانِ وَصُفِدَتِ الشَّيَاطِيْنُ
“Bila datang bulan Ramadhan dibukalah pintu-pintu surga, ditutuplahpintu-pintu neraka dan dibelenggulah para setan.” (HR. Al-Bukhari danMuslim)
Pada bulan Ramadhan pula terdapat malam Lailatul Qadar. Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ. وَمَا أَدْرَاكَ مَالَيْلَةُ الْقَدْرِ. لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ.تَنَزَّلُ الْمَلاَئِكَةُ وَالرُّوْحُ فِيْهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْكُلِّ أَمْرٍ. سَلاَمٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al Qur’an pada malam kemuliaan.Tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baikdari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikatJibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itupenuh kesejahteraan hingga terbit fajar.” (Al-Qadar: 1-5)
Penghapus Dosa
Ramadhan adalah bulan untuk menghapus dosa. Hal ini berdasar hadits AbuHurairah radiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihiwassallam bersabda:
الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ وَرَمَضَانُإِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ لَمَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتُنِبَتِالْكَبَائِرُ
“Shalat lima waktu, dari Jum’at (yang satu) menuju Jum’atberikutnya, (dari) Ramadhan hingga Ramadhan (berikutnya) adalahpenghapus dosa di antaranya, apabila ditinggalkan dosa-dosa besar.”(HR. Muslim)
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan dengan keimanan dan mengharapridha Allah, akan diampuni dosa-dosanya yang terdahulu.” (HR.Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah z)
Rukun Berpuasa
a. Berniat sebelum munculnya fajar shadiq. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam :
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya.” (Muttafaqun ‘alaih dari hadits ‘Umar bin Al-Khaththab radiyallahu ‘anhu )
Juga hadits Hafshah radiyallahu ‘anha, bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam:
مَنْ لَمْ يَجْمَعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ
“Barangsiapa yang tidak berniat berpuasa sebelum fajar maka tidak ada puasa baginya.” (HR. Ahmad dan Ashabus Sunan)
Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah menyatakan bahwa hadits ini mudhtharib (goncang) walaupun sebagian ulama menghasankannya.
Namun mereka mengatakan bahwa ini adalah pendapat Ibnu ‘Umar, Hafshah,‘Aisyah radiyallahu ‘anha, dan tidak ada yang menyelisihinya darikalangan para shahabat.
Persyaratan berniat puasa sebelum fajar dikhususkan pada puasa yanghukumnya wajib, karena Rasulullah n pernah datang kepada ‘Aisyahradiyallahu ‘anha pada selain bulan Ramadhan lalu bertanya: “Apakahkalian mempunyai makan siang? Jika tidak maka saya berpuasa.” (HR.Muslim)
Masalah ini dikuatkan pula dengan perbuatan Abud-Darda, Abu Thalhah,Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas dan Hudzaifah ibnul Yaman rahimahumullah. Iniadalah pendapat jumhur.
Para ulama juga berpendapat bahwa persyaratan niat tersebutdilakukan pada setiap hari puasa karena malam Ramadhan memutuskanamalan puasa sehingga untuk mengamalkan kembali membutuhkan niat yangbaru. Wallahu a’lam.
Berniat ini boleh dilakukan kapan saja baik di awal malam,pertengahannya maupun akhir. Ini pula yang dikuatkan oleh jumhur ulama[1]
b. Menahan diri dari setiap perkara yang membatalkan puasa dimulai dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari.
Telah diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim haditsdari ‘Umar bin Al-Khaththab radiyallahu ‘anha bahwa Rasulullahshallallahu ‘alaihi wassallam bersabda:
إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَهُنَا وَأَدْرَكَ النَّهَارُ مِنْ هَهُنَا وَغَرَبَتِ الشَّمْسُ فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ
“Jika muncul malam dari arah sini (barat) dan hilangnya siang dariarah sini (timur) dan matahari telah terbenam, maka telah berbukalahorang yang berpuasa.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Puasa dimulai dengan munculnya fajar. Namun kita harus hati-hatikarena terdapat dua jenis fajar, yaitu fajar kadzib dan fajar shadiq.Fajar kadzib ditandai dengan cahaya putih yang menjulang ke atasseperti ekor serigala. Bila fajar ini muncul masih diperbolehkan makandan minum namun diharamkan shalat Shubuh karena belum masuk waktu.
Fajar yang kedua adalah fajar shadiq yang ditandai dengan cahayamerah yang menyebar di atas lembah dan bukit, menyebar hingga kelorong-lorong rumah. Fajar inilah yang menjadi tanda dimulainyaseseorang menahan makan, minum dan yang semisalnya serta diperbolehkanshalat Shubuh.
Hal ini berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas radiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda:
الْفَجْرُ فَجْرَانِ فَأَمَّا اْلأَوَّلُ فَإِنَّهُ لاَ يُحْرِمُالطَّعَامَ وَلاَ يُحِلُّ الصَّلاَةَ وَأَمَّا الثَّانِي فَإِنَّهُيُحْرِمُ الطَّعَامَ وَيُحِلُّ الصَّلاَةَ
“Fajar itu ada dua, yang pertama tidak diharamkan makan dan tidakdihalalkan shalat (Shubuh). Adapun yang kedua (fajar) adalah yangdiharamkan makan (pada waktu tersebut) dan dihalalkan shalat.” (HR.Ibnu Khuzaimah, 1/304, Al-Hakim, 1/304, dan Al-Baihaqi, 1/377)
Namun para ulama menghukumi riwayat ini mauquf (hanya perkataan Ibnu‘Abbas c dan bukan sabda Nabi n). Di antara mereka adalah Al-Baihaqi,Ad-Daruquthni dalam Sunan-nya (2/165), Abu Dawud dalam Marasil-nya(1/123), dan Al-Khathib Al-Baghdadi dalam Tarikh-nya (3/58). Jugadiriwayatkan dari Tsauban dengan sanad yang mursal. Sementaradiriwayatkan juga dari hadits Jabir dengan sanad yang lemah.
Wallahu a’lam.
Footnote :
1. Cukup dengan hati dan tidak dilafadzkan dan makan sahurnya seseorang sudah menunjukkan dia punya niat berpuasa, red
Siapa yang Diwajibkan Berpuasa?
Orang yang wajib menjalankan puasa Ramadhan memiliki syarat-syarattertentu. Telah sepakat para ulama bahwa puasa diwajibkan atas seorangmuslim yang berakal, baligh, sehat, mukim, dan bila ia seorang wanitamaka harus bersih dari haidh dan nifas.
Sementara itu tidak ada kewajiban puasa terhadap orang kafir, oranggila, anak kecil, orang sakit, musafir, wanita haidh dan nifas, orangtua yang lemah serta wanita hamil dan wanita menyusui.
Bila ada orang kafir yang berpuasa, karena puasa adalah ibadah didalam Islam maka tidak diterima amalan seseorang kecuali bila diamenjadi seorang muslim dan ini disepakati oleh para ulama.
Adapun orang gila, ia tidak wajib berpuasa karena tidak terkena bebanberamal. Hal ini berdasarkan hadits ‘Ali bin Abi Thalib radiyallahu‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: عَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَفِيْقَوَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقَظَ وَعَنِ الصَّبِي حَتَّى يَحْتَلِمَ
“Diangkat pena (tidak dicatat) dari 3 golongan: orang gila sampaidia sadarkan diri, orang yang tidur hingga dia bangun dan anak kecilhingga dia baligh.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
Meski anak kecil tidak memiliki kewajiban berpuasa sebagaimanadijelaskan hadits di atas, namun sepantasnya bagi orang tua atau waliyang mengasuh seorang anak agar menganjurkan puasa kepadanya supayaterbiasa sejak kecil sesuai kesanggupannya.
Sebuah hadits diriwayatkan Ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz radiyallahu ‘anha:
“Utusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam mengumumkan di pagihari ‘Asyura agar siapa di antara kalian yang berpuasa maka hendaklahdia menyempurnakannya dan siapa yang telah makan maka jangan lagi diamakan pada sisa harinya. Dan kami berpuasa setelah itu dan kamimempuasakan kepada anak-anak kecil kami. Dan kami ke masjid lalu kamibuatkan mereka mainan dari wol, maka jika salah seorang mereka menangiskarena (ingin) makan, kamipun memberikan (mainan tersebut) padanyahingga mendekati buka puasa.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Sementara itu, bagi orang-orang lanjut usia yang sudah lemah(jompo), orang sakit yang tidak diharapkan sembuh, dan orang yangmemiliki pekerjaan berat yang menyebabkan tidak mampu berpuasa dantidak mendapatkan cara lain untuk memperoleh rizki kecuali apa yang dialakukan dari amalan tersebut, maka bagi mereka diberi keringanan untuktidak berpuasa namun wajib membayar fidyah yaitu memberi makan setiaphari satu orang miskin.
Berkata Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhuma:
“Diberikan keringanan bagi orang yang sudah tua untuk tidak berpuasadan memberi makan setiap hari kepada seorang miskin dan tidak ada qadhaatasnya.” (HR. Ad-Daruquthni dan Al-Hakim dan dishahihkan oleh keduanya)
Anas bin Malik radiyallahu ‘anhu tatkala sudah tidak sanggupberpuasa maka beliau memanggil 30 orang miskin lalu (memberikan padamereka makan) sampai mereka kenyang. (HR. Ad-Daruquthni 2/207 dan AbuYa’la dalam Musnad-nya 7/204 dengan sanad yang shahih. Lihat ShifatShaum An-Nabi, hal. 60)
Orang-orang yang diberi keringanan untuk tidak berpuasa namun wajibatas mereka menggantinya di hari yang lain adalah musafir, dan orangyang sakit yang masih diharap kesembuhannya yang apabila dia berpuasamenyebabkan kekhawatiran sakitnya bertambah parah atau lama sembuhnya.
Allah Ta’ala berfirman:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيْضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalamperjalanan lalu ia berbuka, maka wajib baginya berpuasa sebanyak hariyang ditinggalkan pada hari-hari yang lain.” (Al-Baqarah: 184)
Demikian pula bagi wanita hamil dan menyusui yang khawatir terhadapjaninnya atau anaknya bila dia berpuasa, wajib baginya meng-qadhapuasanya dan bukan membayar fidyah menurut pendapat yang paling kuatdari pendapat para ulama.
Hal ini berdasar hadits Anas bin Malik Al-Ka’bi z, bersabda Rasulullah n:
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ نِصْفَ الصَّلاَةِ وَالصَّوْمَ وَعَنِ الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ
“Sesungguhnya Allah telah meletakkan setengah shalat dan puasa bagiorang musafir dan (demikian pula) bagi wanita menyusui dan yang hamil.”(HR. An-Nasai, 4/180-181, Ibnu Khuzaimah, 3/268, Al-Baihaqi, 3/154, dandishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t)
Yang tidak wajib berpuasa namun wajib meng-qadha (menggantinya) di hari lain adalah wanita haidh dan nifas.
Telah terjadi kesepakatan di antara fuqaha bahwa wajib atas keduanyauntuk berbuka dan diharamkan berpuasa. Jika mereka berpuasa, maka diatelah melakukan amalan yang bathil dan wajib meng-qadha.
Diantara dalil atas hal ini adalah hadits Aisyah radiyallahu ‘anha:
كَانَ يُصِيْبُنَا ذَلِكَ فَنُأْمَرُ بِقَضَاءِ الصِّيَامِ وَلاَ نُأْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ
“Adalah kami mengalami haidh lalu kamipun diperintahkan untukmeng-qadha puasa dan tidak diperintahkan meng-qadha shalat.” (HR.Al-Bukhari dan Muslim)
Wallahu a’lam
Posting Komentar